Kamis, 28 April 2011

KESADARAN dan PENYERAHAN DIRI

Oleh : Anasuya Pativrata


1.             Awidya Bagai Kotoran yang Membelenggu

Kesalahan merupakan sesuatu hal yang dimiliki oleh manusia dan bahkan tidak dapat lepas dari manusia itu sendiri. Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan selama hidupnya. Seperti yang di sebutkan dalam kitab Bhagawadgita 14.5. “alam material terdiri dari tiga sifat, kebajikan, nafsu dan kebodohan. Bila makhluk hidup yang kekal berhubungan dengan alam, ia akan diikat oleh sifat-sifat tersebut, wahai arjuna yang berlengan perkasa”. Ketiga sifat yang disebutkan dalam sloka tersebut merupakan pemicu yang bisa membuat manusia melakukan sebuah kesalahan. Mengapa demikian karena apabila sattwam atau kebajikan itu mendominasi dalam mempengaruhi seseorang maka orang tersebut akan menjadi orang yang penuh kebajikan akan tetapi orang tersebut juga tidak bisa lepas dari  nafsu dan kebodohan. Hal ini dikarenakan ketiga sifat itu akan tetap ada dan tidak dapat lepas dari manusia itu sendiri. Seperti yang juga disebutkan dalam kitab Brahma Sutra, III.2.3. “karena dari yang mengandung ketiga unsur karena pengaruhnya lebih kuat, dan karena kepergian dari organ tubuh” magsudnya adalah sutra mengatakan bahwa dalam air juga terdapat kedua unsur lain, sesuai dengan penciptaan tripatrit dari ketiga unsur kasar. Karena itu ketiga unsur menyertai sang roh. Dapat dimengerti magsud dari sloka ini adalah setiap orang atau manusia tetap dipengaruhi oleh sifat-sifat materi yang ada dialam ini karena manusia membutuhkan alam untuk bertahan hidup, sehingga sifat alam akan mempengaruhi manusia meski jika kebajikan yang mendomonasi akan tetapi karena unsur nafsu dan kebohohan juga dimiliki maka manusia itu tidak luput dari kesalahan. Akan tetapi ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menyangkal kesalahan itu sendiri karena sebab dan akibat selalu berjalan beriringan meski tidak sama tetapi sebab membuat terjadinya akibat. Kesalahan dalam advaita Vedanta yang dikemukakan oleh pendirinya yaitu sankaracarya yaitu pemunculan dunia dengan jalan persepsi bersifat ilusi. Kesimpulan yang menyatakan bahwa suatu persepsi ilusi ‘ini adalah seekor ular’ menunjukan bahwa disini ada sepotong pengetahuan. Mungkin ada benarnya bahwa persepsi benda yang ada’ini’ mengunggah kenangan atau ingatan pada seokor ular yang dilihatnya dimasa lampau, tetapi apabila kenangan ini tidak berkombinasi dengan persepsi untuk membentuk suatu kesadaran, melainkan hanya muncul dalam pikiran tanpa diskriminasi bersama-sama persepsi, dan akan muncul sebuah pernyataan “saya melihat ini” dan saya ingat seekor ular” demikian kaum advaita menjelaskan tentang teori kesalahannya. Menurutnya juga ciptaan tidak dapat terlukiskan (anirvanacaniya sristi) dan teori ilusinya yang disebut teori wujud yang tak dapat dilukiskan (anirvacaniyakhyativada). Pendapat ini tampak seperti pengakuan terhadap misteri. Tapi setiap ilusi sesungguhnya merupakan misteri dan menjadikan tantangan bagi kaum realis dan naturalis yang tak menduga. Apabila semua kepercayaan yang salah dan keliru telah dienyahkan dan kepercayaan akan kebenaran ajaran Vedanta menjadi permanen, pencari kelepasan diberitahukan oleh guru “engkau adalah Brahman”. Ia lalu mulai merenungkan kebenaran ini secara kukuh-teguh sehingga akhirnya dia memiliki suatu realisasi dalam langsung bentuk “aku adalah Brahman”. Jadi perbedaan ilusi antara jiwa dan Brahman akhirnya lenyap, demikian pula belenggu kelepasan atau mukti bisa dicapai. Lain halnya dengan Visistadvaita mengatakan meskipun jiwa-jiwa dan dunia materi memiliki eksistensi mereka masing-masing, tidak ada satupun darinya yang hakiki sama dengan Brahman. Sebab Brahman adalah bebas, abadi dan tidak tersentuh oleh dunia material yang tidak berkesadaran dan tidak sempurna dan jiwa-jiwa yang tidak memiliki pengetahuan tentang tuhan dan yang selalu menderita. Menurut Ramanuja Brahman adalah satu-satunya yang kekal abadi dan jiwa-jiwa bukanlah Brahman, jiwa ada didalam Brahman tapi jiwa bukanlah Brahman. Menurut Ramanuja badan jasmani manusia merupakan sesuatu yang riil, Karena badan jasmani manusia merupakan bagian dari Brahman, jiwa ini sudah tentu tidak dibuat karena jiwa ini bersifat langgeng, menurutnya jiwa begitu halus sehingga dapat menembus materi yangt tidak berkesadaran, jiwa juga dapat mengalami kehancuran. Kesadaran jiwa adalah bukan merupakan aksidentil baginya, melainkan ia tak tergantung atas hubungannya dengan badan jasmani. Kesadaran bukanlah merupakan intisari, melainkan suatu kualitas kekal abadi dari jiwa tetap tinggal demikian dalam segala keadaan. Menurutnya terbelenggunya jiwa oleh badan justru karena karmanya, sesuai dengan karmanya jiwa diasosiasikan dengan badan jasmani yang sesuai dengan keinginannya. Menurut ramanuja untuk mencapai kelepasan harus dilakukan dengan jalan kerja dan pengetahuan, sebab kedua-duanya akan merincinkan jalan menuju pengabdian. Dengan kerja atau karma Ramanuja magsudkan disini berbagai ritual yang siharuskan oleh kitab-kitab suci veda bagi tiap orang  sesuai golongan dan tingkat hidup masing-masing (warnasrama). Ini semua harus dilaksanakan tanpa didasari atas keinginan untuk mencapai sorga atau sejenisnya. Kelepasan bukan berarti menjadikan jiwa identik dengan Brahman akan tetapi jiwa yang mencapai kelepasan dengan mencapai kesadaran murni yang tak ternodai oleh ketidak sempurnaan apapun, dalam hal ini serupa dengan tuhan. Dalam Vedanta disebutkan ada tiga jenis penderitaan yaitu yang pertama penderitaan yang disebabkan oleh badan jasmani dan pikiran, yang kedua adalah penderitaan yang disebabkan oleh makhluk hidup yang lain, dan terakhir adalah penderitaan yang disebabkan oleh ganguan-ganguan supranatural. Dengan adanya perubahan yang terus menerus didunia ini membuat orang mulai berpikir akan apa yang merupakan tujuan dari kehidupannya untuk kembali memperoleh identitas sejatinya dan  melepaskan diri dari penderitaan-penderitaan tersebut. Yang kemudian memuncak kepada hakikat sejati diri seseorang. 

2.             Dosa dan Kesalahan yang Sesungguhnya

Dosa atau sering juga disebut dengan papa. Adalah sebuah kesalahan yang disebabkan  oleh awidya (kegelapan). Dosa, papa, dan puņya adalah kata-kata yang tampak saling berkaitan. Dosa dan papa atau papa di dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam kata sin, dan dalam bahasa Sanskerta adalah papam, patakam, kalmasam, duritam, agham, duskram, vrjinam, amhas, kilbisam, dan lain-lain. Kata papa dalam bahasa Jawa Kuno mengandung arti yang lebih luas, yakni: dosa, kebiasaan buruk; kejahatan, kesalahan, hukuman/siksaan karena dosa. Kitab Slokantara 75-78 membedakan 4 macam dosa, yakni dosa pataka, dosa upapataka, dosa mahapataka, dan dosa atipataka yang masing-masing disebut dosa kecil, dosa menengah, dosa besar, dan dosa terbesar, masing-masing sebagai berikut: (1) dosa pataka meliputi: bhrunaha, menggugurkan kandungan, purusaghna, membunuh manusia lainnya, seperti sastrawan dan hartawan, kanyacora, melarikan gadis dengan paksa, agrayajaka, yang kawin mendahului saudaranya yang lebih tua, (2) dosa upapataka meliputi: govadha, membunuh sapi, yuwati vadha, membunuh perempuan muda, balavadha, membunuh anak-anak, vrddhavadha, membunuh orang tua, agaravadha, membakar rumah dan penghuninya. (3) dosa mahapataka, meliputi: brahmavadha, membunuh Brahmaņa, surapana, minum minuman keras atau yang memabukan, suvarņasteya, mencuri emas, kanyavighna, memperkosa seorang gadis sampai gadis itu mati, guruvadha, membunuh guru. (4) dosa atipataka, meliputi: svaputri bhajana, memperkosa putri sendiri, matrbhajana, memperkosa ibu sendiri, dan liņgagrahaņa, merusak tempat suci atau tempat pemujaan. Seorang Mumuksu atau jiva yang berkehendak mencapai kesempurnaan rohani dalam kedudukan sejatinya yang bebas dari samsara sebenarnya tidak saja memperhatikan apa yang disebut Paapa yang biasanya diterjemahkan sebagai reaksi dosa, tetapi juga apa yang kita sebut karma – phala, aksi – reaksi, perbuatan dan hasilnya. Dosa sebenarnya adalah hasil dari unskillful acts, tindakan atau karma yang dilakukan tidak selaras dengan hukum semesta yang dapat mengakibatkan timbulnya dukacita dan penderitaan fisik sebagai buahnya. Dukacita dan penderitaan ini juga kita sebut klesha. Klesha atau noda dukacita berasal dari tiga jenis yaitu avidya (kegelapan batin), paapa-bija (benih reaksi dosa), dan paapa (reaksi dosa). Avidya merupakan sumber dari perbuatan berdosa atau disebut juga perbuatan yang tidak memberikan kemujuran (asubha-karma). Dari asubha-karma muncullah paapa-bija, dosa yang belum menampakkan efeknya, dan akhirnya paapa, reaksi dosa yang berupa duhkha, dukacita, kemalangan, penderitaan, dan hal-hal tidak mujur lainnya. Semua jenis dosa ini menimbulkan pula apa yang kita sebut duskriti, ketidakbajikan. Jadi di sini perlu kita ingat bahwa klesha (avidya, paapa-bija, paapa) adalah penyebab dari duhkha.

3.             Empat Jalan Melepaskan Diri dari Awidya
Prinsip agung dalam Vedanta adalah bahwa untuk mencapai tujuan yang sama yaitu kelepasan, kita dapat menempuh dengan empat jalan yaitu dengan jalan cara kerja, cara kasih saying, cara kejiwaan dan cara pengetahuan. Magsudnya disini adalah bukannya karena menjumpai orang yang hanya memiliki kemampuan kerja, bukan juga karena menjumpai orang yang tidak melakukan perkerjaan lain hanya sembahyang dengan khusuk saja. Serta bukan hanya karena seseorang memiliki pengetahuan yang luas. Semua metode dan jalan yang disebutkan tadi dapat menuntun mencapai suatu pembebasan atau kelepasan. Seperti aliran mata air yang kemudian mengaliri sungai yang berbeda-beda untuk mencapai satu tujuan yaitu samudra. Segala sesuatu, yang kita rasakan disekeliling kita, semua berjuang menuju kebebasan, dari atom sampai manusia dari benda-benda mati partikel-partikel yang tidak bernyawa sampai keeksistensi dibumi ini, jiwa manusia dan seluruh alam semesta ini sesungguhnya adalah akibat dari perjuangan kebebasan ini. Dalam setiap kombinasi setiap partikel mencoba pergi sendiri menurut caranya sendiri, terbang dari partikel lainnya tetapi yang lain ini menahan dalam genggamannya. Bumi kita sendiri mencoba terbang dairi matahari, dan begitu juga bulan dari bumi. Segala sesuatu memiliki cara pemisahan abadi untuk selama-lamanya. Seperti misalnya jalan yang dipilih oleh Bakti Marga Yoga untuk mencapai suatu kelepasan yaitu dengan jalan penyerahan diri secara utuh kepada tuhan dan mengerjakan sesuatu pekerjaan sebagai baktinya kepada tuhan, dalam bhakti marga seseorang yang memiliki kesalahan di dalam hidupnya, dapat menghapus dosanya dengan jalan melaksanakan Bhakti kepada Tuhan yakni menyerahkan diri secara utuh untuk memohon ampun dan melaksanakan upacara-upacara persembahan. Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti ini digunakan untuk menunjukkan kasih kepada objek yang lebih tinggi atau lebih luas cakupannya. Seperti misalnya kepada orang tua, para leluhur, para dewa, Tuhan Yang Maha Esa. Kata cinta kasih digunakan untuk menunjukkan cinta kepada sesama manusia atau mahluk di bawah mansuia magsudnya yaitu kawan, keluarga, pacar, tetangga, rekan kerja, binatang, tumbuh-tumbuhan, alam samesta ini. Jalan Bhakti Marga adalah jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha Kuasa dengan menggunakan sarana rasa. Orang yang melakukan jalan bhakti disebut Bhakta. Seorang Bhakta tidak mungkin akan melakukan perbuatan jahat atau buruk dan segala hasil usahanya semua diperuntukkan kepada Tuhan. Seperti yang tersurat dalam kitab Bhagawadgita “Diantara ini, orang yang bijaksana yang selalu terus menerus bersatu dengan Hyang Suci, kebaktiannya terpusat hanya kesatu arah (Tuhan) adalah yang terbaik. Sebab aku kasih sekali kepadanya dan dia kasih kepadaku” (Bhagawad Gita VII-17), “Dengan bentuk apapun juga mereka bakti kepadaku (Bhakta), yang dengan kepercayaan bermaksud menyembah aku (dengan Sraddha), kepercayaan itu aku tegakkan” (Bhagawad Gita VII-21). bhakti dibagi dua yaitu Para Bhakti dan Apara Bhakti. Para artinya utama. jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak utama. jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi. Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak terlibat dalam ritual serta menggunakan berbagai simbol. Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para bhakti antara lain sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa Agama dan kuat/berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama sehingga dapat mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik dimana Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan) dan Manacika (pikiran) selalu terkendali dan berada pada jalur dharma. Bhakta yang seperti ini banyak melakukan : Drwya Yadnya (ber-dana punia), Jnana Yadnya (belajar-mengajar), Tapa Yadnya (pengendalian diri). Begitu pula dalam karma yoga kelepasannya dilaksanakan melalui jalan berkarma disini dimagsudnya karma yaitu melakukan sesuatu yang sesuai dengan ajaran kitab suci baik itu berupa melaksanakan upacara yadnya, perbuatan sesuai dengan sastra suci, atau semua tindakan yang dilandasi dengan hati yang suci dan tanpa mengharapkan imbalan atas perbuatan atau karmanya itu, Karma adalah perbuatan. Jadi Karma Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai kesatuan atman dan Brahman melalui kerja atau perbuatan tanpa ikatan, tanpa pamrih, tulus dan ikhlas, penuh dengan amal kebajikan dan pengorbanan. Dalam Karma Marga Yoga, perbuatan dan kerja merupakan suatu pengembalian dengan melepaskan segala hasil atau buah dari segala perbuatan dan segala yang dikerjakannya. Dengan melakukan amal kebajikan tanpa pamrih, akan dapat mengembalikan emosi dan melepaskan atma dari ikatan duniawi. Seorang Karmin dapat melepaskan diri dari ikatan karma wasana dan karma phala nya, terbebas dari unsur-unsur maya, sehingga mencapai kesempurnaan dan kebebasan tertinggi (moksa). Seperti yang tertuang dalam kitab Bhagawadgita “Bukan dengan jalan tiada bekerja, orang dapat mencapai kebebasan dari perbuatan. Juga tidak hanya melepaskan diri dari pekerjaan, orang akan mencapai kesempurnaannya." (Bhagawad Gita III-4), “Serahkanlah segala pekerjaan kepadaku, dengan memusatkan pikiran kepada atma, melepaskan diri dari pengharapan dan perasaan keakuan, dan berjuanglah kamu, bebas dari pikiranmu yang susah” (Bhagawad Gita III-30), “Bekerjalah kamu selalu, yang harus dilakukan dengan tiada terikat olehnya, karena orang mendapat tujuannya yang tertinggi dengan melakukan pekerjaan yang tak terikat olehnya” (Bhagawad Gita III-19). Dalam Karma Marga Yoga, kesalahan seseorang dapat dihapus dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik untuk melebur dosanya, magsudnya perbuatan baik disini akan mengimbangi kesalahan yang telah diperbuat. Kata perbuatan baik ini bukan hanya baik secara terlihat akan tetapi juga baik dalam artian tidak didasari oleh suatu rasa pamrih, akan tetapi dengan menganggap semua pekerjaan atau perbuatannya merupakan suatu persembahan darinya untuk tuhan, serta tanpa berharap mendapat imbalan dari perbuatan baiknya tersebut berbeda dengan semua itu, jadi Karma Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai kesatuan atman dan Brahman melalui kerja atau perbuatan tanpa ikatan, tanpa pamrih, tulus dan ikhlas, penuh dengan amal kebajikan dan pengorbanan. Menurut jnana marga pengetahuan merupakan hal yang dapat membawa seseorang pada kelepasan karena penetahuan yang utama yang bisa membantu seseorang mencapai kelepasan adalah pengetahuan akan sang diri, ibaratnya tuhan adalah lautan dan atman adalah gelombang, yang mana sebenarnya keduanya adalah sama. Dalam Jnana Marga Yoga, suatu kesalahan akan  tidak menjadi suatu kesalahan ketika seseorang memiliki pengetahuan yang luas. Kebaikan tetinggi menurut disiplin Jnana Yoga, yaitu realisasi diri yang diluar indera dan pemikiran. Orang yang menganut Jnana Yoga mengatakan pengetahuan merupakan proses mengetahui diri kita yang sebenarnya untuk membebaskan diri dari zat dan semua kepercayaan dalam kenyataanya merupakan Jnana yang sebenarnya. Jnana artinya kebijaksanaan filsafat atau ilmu pengetahuan. Jadi Jnana Marga Yoga adalah jalan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman berdasarkan atas ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan filsafat kebenaran. Pengetahuan seorang bijaksana (Jnanin) dapat dibagi atas dua bagian yaitu Apara Widya dan Pari Widya. Apara Widya adalah pengetahuan dalam tingkat kemewahan suci (ajaran-ajaran suci Weda) sedangkan Pari Widya adalah pengetahuan tingkat tinggi tentang hakikat kebenaran Atman dan Brahman. Jadi Apara Widya adalah dasar untuk mencapai Pari Widya. Seorang Jnanin memiliki pengetahuan untuk mencapai kebenaran yang sempurna, dengan Wiweka (logika) yang dalam mereka benar-benar bisa membedakan yang kekal dan tidak kekal, sehingga bisa melepaskan yang tidak kekal dan mencapai kekekalan yang sempurna. Seperti yang dikatakan dalam sloka sarasamuccaya “Alangkah cepat dan pendeknya kehidupan sebagai manusia ini, tak bedanya dengan sinarnya kilat dan sangat susah pula untuk didapat. Oleh karena itu berusaha benar-benarlah untuk berbuat (sadhana) berdasarkan kebenaran (dharma) untuk menghapuskan kesengsaraan hidup guna mencapai sorga” (Sarasamuscaya II-14), dan juga dalam sloka Bhagawadgita “Ia yang pikirannya tidak digoyahkan dalam keadaan dukacita dan bebas dari keinginan-keinginan ditengah-tengah kesukacitaan, ia yang dapat mengatasi nafsu, kesesatan dan kemarahan, ia disebut seorang yang bijaksana” (Bhagawad Gita II-56). Kedua sloka ini menunjukan pengatahuan akan kebenaran sangatlah penting sebagai dasar untuk melaksanakan tindakan yang sesuai dengan apa yang menjadi persyaratan dari kelepasan atau ketidak terikatan akan dunia materiil. Yang terakhir dari keempat jalan ini adalah Raja marga yoga yang adalah jalan untuk mencapai kebebasan yang sempurna berdasarkan pelaksanaan Tapa Brata Yoga Semadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi (nafsu) sedangkan Yoga dan Semadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan brahman (Tuhan) dengan melakukan konsentrasi yang setepat-tepatnya dalam ketenangan suasana semadhi yang sempurna. Seorang Raja Yoga akan dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan misalnya dengan melakukan Astangga Yoga yaitu delapan jalan untuk melakukan Yoga untuk mencapai Moksa, yaitu : Yama (Larangan) yaitu disiplin penahanan diri terhadap keinginan atas nafsu, Nyama (Suruhan) yaitu beradat yang baik dengan memupuk kebiasaan-kebiasaan yang baik, Asana yaitu mengatur sikap duduk yang baik, Pranayama yaitu mengatur pernafasan yang sempurna dan teratur. Puraka (menarik nafas), Kumbaka (menahan nafas), Recaka (menghembuskan nafas)., Pratyahara yaitu mengontrol dan mengembalikan semua indrya, sehingga dapat melihat sinar-sinar suci., Dharana yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan Tuhan. Dhyana yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan Tuhan yang tarafnya lebih tinggi daripada Dharana., Semadhi yaitu persatuan Atman dengan Brahman (Tuhan). Keempat jalan dan cara diatas semuanya adalah sama, tiap-tiap jalan meletakkan dasar dan cara-cara tersendiri. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, semuanya baik dan utama, tergantung kepribadian, watak, kesanggupan dan bakat manusia masing-masing. Semuanya akan mencapai tujuannya asal dilakukan dengan pernuh kepercayaan, ketekunan dengan tulus ikhlas, kesujudan, keteguhan iman dan tanpa pamrih.seperti yang tertuang dalam kitab Bhagawadgita “Dengan jalan bagaimanapun ditempuh oleh manusia ke arahku, semuanya aku terima dan memenuhi keinginan mereka, melalui banyak jalan manusia menuju jalanku, Oh Prtha” (Bhagawad Gita V-2).

DAFTAR PUSTAKA

Bhaktisvarupa Damodara Swami, His Holines. 2004. Seri Vedanta & Sains, kehidupan dan Asal mula Jagat Raya. Denpasar: PT. Cintya
Bhaktivedanta Swami, 1986. Bhagavad Gita Sesuai Dengan Aslinya, Jakarta. Hanuman Sakti.
Dewi Paramita, I.G.A(swami Tapasyananda). Wejangan Filosofis dan Keagamaan Swami Vivekananda. Surabaya: Paramita
Maswinara, I Wayan. . 2006. Sistem Filsafat Hindu.  Surabaya: Paramita Surabaya.
Putra, N.P (Ed. Visvanathan). 2004. Apakah Saya Orang Hindu?(Am I A hindu?). Denpasar: PT Pustaka Manikgeni
S. Pendit, Nyoman. 2007. Filsafat Hindu Dharma Sad darsana. Denpasar: Pustaka Bali Post
S. Pendit, Nyoman. 2005. Wedanta Percik-Percik Renungan Swami Vivekananda. Denpasar: Pustaka Bali Post
S. Pendit, Nyoman. 1996. Hindu Dharma Abad XXI Menatap Masa Depan Peradaban Umat Manusia. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha
Sudharta. 2003. Slokantara Untaian Ajaran Etika. Surabaya: Paramita Surabaya
Viresvarananda, svami. 2004. Brahma sutra pengetahuan tentang ketuhanan. Surabaya:  . Paramita surabaya.
Viresvarananda, svami. 1948. Brahma sutra. Advaita Ashrama, Mayavati, Almora, Himalaya
Jendra, I Wayan. 2007. Hukum Karma dan Cara Menghadapinya. Surabaya: Paramita Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar