Jaya Prana Lan Layon Sari
Dua orang
suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua
orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa
masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal
dunia bersamaan. Tinggalan seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I
Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia
puan memberanikan dirimengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat
rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.
Kini I
Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan
senyumnya pun sangat manis menarik.
Beberapa tahun
kemudian.
Pada suatu
hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada
di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana
menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi
karena dipaksan oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke
pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang
pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita.
Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.
Melihat gadis
yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus
membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat
hancur hatinya baru memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan
istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam
pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan
Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja
menulis sepucuk surat.
I Jayaprana
dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di
tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan
surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa
menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju
apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia
menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon
diri pulang kembali.
Di istana Raja
sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap
pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada
sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku
Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni
Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai
mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.
Menjelang hari
perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara
gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I
Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa,
hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja
sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para
perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana.
Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah
kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya melihat wajah Ni Layonsari, raja
pun membisu tak dapat bersabda.
Setelah senja
kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan
sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada
para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I
Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari supaya masuk ke istana
dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat
diperistri maka baginda akan mangkat karena kesedihan.
Mendengar
sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan
pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I
Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu
yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan
pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I
Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja. Sekarang tersebutlah I
Jayaprana yang sangat brebahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh
hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya,
yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana
segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian.
Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk
menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah
senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya
yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di
paseban kepada istrinya.
Hari sudah
malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit
dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan
itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan
berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak
perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha
Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima,
meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan
rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk.
Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah meras dirinya akan
dibinasakan kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil
menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca
dalam hati isinya:
“ Hai engkau
Jayaprana
Manusia tiada
berguna
Berjalan
berjalanlah engkau
Akulah menyuruh
membunuh kau
Dosamu sangat
besar
Kau melampaui
tingkah raja
Istrimu
sungguh milik orang besar
Kuambil
kujadikan istri raja
Serahkanlah
jiwamu sekarang
Jangan engkau
melawan
Layonsari
jangan kau kenang
Kuperistri
hingga akhir jaman.”Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana.
Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil
meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak.
Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin
mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski
pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air
mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap
menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia
menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia
menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum
semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi
seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan
sebagainya.Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali
pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat
bahaya maut. Diantara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena
diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana
itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus
keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi
itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat
halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.
Jayaprana
versi lain
KISAH tentang
Jayapran dan Layonsari tidak asing lagi, apalagi di Bali. Di pedesaan. seorang
pemuda ganteng lewat maka mulut usilpun menceloteh: mirip Jayaprana. Begitu
pula untuk cewek, Layonsari adalah sanjungannya kalau cantik. Di atas pentas,
apakah itu dalam Arja, Topeng, Drama, kedua tokoh ini tentu dimainkan oleh
aktor rupawan.
Kerupawanan
Jayaprana dan kecantikan Layonsari kini sedang diperbineangkan masyarakat Bali.
Bahkan kisah yang menyangkut pasangan mirip Romeo Yuliet itu sekarang mulai
digubris: bagaimana kisah yang sesungguhnya. Maklum, dengan mengangkat kisah
kehidupan dua sejoli ini ke atas panggung, variasi muncul beraneka ragam.
Tentang
kepercayaan akan adanya cerita itu, memang berakar kuat. Artinya, sulit untuk
mencari orang yang bakal membantah bahwa kisah itu cuma dongeng. Karena
peninggalan-peninggalan Jayaprana bertebaran di daerah bekas kerajaannya, kini
Desa Kalianget, 23 km sebelah barat kota Singaraja. Di sini ada lesung (alat
menumbuk padi) dari batu yang disebut warisan Jayaprana. Juga ada Taman
(pemandian kerajaan) dan beberapa Pura warisan kerajaan. Dan yang membuat
masyarakat Bali tak mungkin membantah kalau hikayat itu disebut dongeng, masih
membekas diingatannya tentang peristiwa "Ngaben" di Desa Kalianget
tahun 1957. Yang di-aben adalah Jayaprana sendiri, yang sebelumnya (lewat
dukun) minta agar rohnya yang gentayangan di Teluk Terima, tempat ia terbunuh,
diupacarai sebagaimana mayat orang Bali umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar